|

Balada Orang-orang Pinggiran

DETaK | Banda Aceh – Cuaca siang itu begitu terik. Pengunjung memadati area lapangan yang telah disulap menjadi tempat berlangsungnya pameran besar. Dua tenda rooders berdiri kokoh di tengah lapangan. Di dalam tenda tersebut didirikan pula stan-stan kecil yang memamerkan beragam produk-produk andalan mereka. Ada banyak stan kecil di sana. Itulah beberapa pemandangan yang dapat kita saksikan di beberapa sudut arena tempat berlangsungnya Aceh Fair. Acara berskala nasional yang berlangsung sejak 8 sampai 15 Mai 2011 ini membuat masyarakat berbondong-bondong memadati area Lapangan Blangpadang.

Nun jauh di pinggir lapangan tersebut—di luar arena Aceh Fair, tepatnya di tepi jalan yang melingkari lapangan Blangpadang itu—seorang pria muda ikut “menyemarakkan” acara dengan menjajakan barang dagangannya. Agus (22 thn), Pedagang Kaki Lima (PKL) penjual popcorn ini mengaku memang sudah lama berjualan di daerah tersebut. Ia tak berjualan dalam kompleks acara. Ia mengatakan bahwa ia sudah nyaman berjualan di situ saja.

“Tempatnya mantap, habis tu bagus, hasilnya pun lumayan, jadi aku berjualan di sini,” ungkapnya.

Agus memang tak diusir dari “zona terlarang” Lapangan Blangpadang seperti teman-temannya yang lain karena berjualan di dalamnya. Namun, ia dikenakan tarif “pajak” oleh pihak panitia Aceh Fair. Ia harus merogoh kocek sebesar Rp. 20.000 per malam.

“Yang penting kita bayar lapak (tempat berjualan –red), jadi tidak akan diusir,” jelas Agus.

Sebenarnya ia merasa berat untuk membayar uang sebesar itu. Pernah ia hanya mampu membayar Rp. 15.000. Namun, pihak panitia tersebut memaksanya untuk membayar uang sebesar yang mereka minta. Saat menagih uang, pihak panitia ini juga membawa “pendamping” yaitu pihak keamanan.

“Mereka (pihak panitia –red) juga bawa-bawa provos waktu minta uang itu,” akunya.

Agus juga pernah diancam bila nekad berjualan di dalam kompleks Lapangan Blangpadang. Hal itu terjadi pada hari Minggu (8/5/2011) sewaktu pembukaan Aceh Fair. Ia diingatkan oleh panitia agar jangan menggelar lapak di area tersebut. Orang yang boleh berjualan hanyalah mereka yang membuka stan dalam tenda rooders.

“Seakan-akan kami yang pedagang kaki lima ini disuruh jualan di luar semua,” tutur Agus mengenai nasibnya sebagai PKL dengan sendu.

Hal yang hampir sama juga dirasakan Popi (57 thn). Penjual soto asal Banda Aceh ini harus membayar sewa lapak sebesar Rp. 100.000 per bulan kepada orang yang berkuasa di kawasan Lapangan Blangpadang itu. Sewaktu ditanya masalah pembayaran sewa lapak tersebut, apakah memberatkan baginya, ia justru berharap agar lapak tersebut kalau bisa tidak perlu dibayar sama sekali alias gratis.

“Cuma mau gimana lagi, sekarang semuanya kan pakai duit,” katanya sambil tersenyum.

Popi mengaku baru berjualan dua hari sebelum digelarnya acara Aceh Fair tersebut. “Saya minta izin sama orang yang berkuasa di sini (Lapangan Blangpadang –red). Orang itu bilang kalau jualan di luar lapangan boleh, tapi kalau di dalam nggak dikasih,” ujarnya pasrah. Walau begitu, ia juga merasa beruntung karena masih diperbolehkan untuk berjualan di pinggir lapangan.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Harian Aceh Fair, Poppy Amalia menegaskan bahwa Aceh Fair tersebut adalah pameran yang ditujukan untuk masyarakat Aceh. Acara ini diutamakan pada kegiatan masyarakat di 23 kabupaten/kota di Aceh.

“Mereka akan memamerkan produk unggulannya dalam acara tersebut,” ungkap Poppy.

Poppy juga mengatakan bahwa dalam acara tersebut, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) memberikan stan gratis sebanyak 23 stan. Setiap kabupaten/kota mendapatkan satu stan.

Stan tersebut diisi oleh berbagai produk unggulan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masyarakat Aceh baik pertanian, perkebunan dan usaha lainnya. Tujuannya adalah agar masyarakat Aceh lebih dulu mencintai produknya sendiri sebelum menjual produk tersebut ke luar. Oleh karena itu, acara Aceh Fair ini mengedepankan slogan “I Love Aceh’s Product”.

Selain itu, acara yang menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 6,5 miliar ini juga menghadirkan kegiatan Job Fair, yaitu pameran pekerjaan. Dalam acara tersebut, perusahaan-perusahaan yang terdaftar membuka formasi lowongan pekerjaan bagi masyarakat dengan kriteria tertentu.          Sewaktu ditanya masalah kehadiran PKL di area acara Aceh Fair, Poppy kembali menegaskan orientasi awal mereka terkait dengan acara ini.

“Ini prosesnya apa, mau pameran produk unggulan Aceh atau produk unggulan luar? Soalnya mereka (PKL –red) kan pendatang semua,” ujarnya.

Selain itu, ia menambahkan bahwa jika PKL ini juga ikut “pameran” di area tersebut dan harganya lebih murah dari produk yang dijual oleh UKM di dalam stan, maka para pengunjung pasti akan memilih membeli dari PKL tersebut.

Poppy juga menuturkan apabila para PKL ini juga ingin ikut menjual produknya bersama UKM, maka mereka harus bergabung dengan UKM yang berasal dari kabupaten/kota yang sama dengan PKL tersebut karena acara ini sendiri berfokus pada UKM.

“Misalnya mereka (PKL –red) berasal dari Kota Lhokseumawe, ya gabung sama stan Lhokseumawe, atau yang dari Kota Banda Aceh gabungnya ke stan Banda Aceh. Saya sudah konfirmasi ke seluruh kabupaten dan kota,” jelasnya lagi.

Walaupun Poppy menawarkan opsi bagi PKL itu untuk ikut menyemarakkan acara Aceh Fair ini dengan bergabung dengan kabupaten/kota masing-masing, namun sejauh pengamatan DETaK di arena Aceh Fair Lapangan Blangpadang, upaya konkrit dari pihak panitia itu sendiri tidak menunjukkan tanda-tandanya selain konfirmasi yang dilakukan Poppy kepada 23 Kabupaten/kota itu saja. Sebagaimana pengakuan Agus, yang ada justru pihak panitia Aceh Fair memungut “pajak” dari para PKL ini sebesar Rp. 20.000 per malam walaupun mereka berjualan di luar arena Aceh Fair.

Sungguh ironis, acara akbar semegah Aceh Fair ini bisa menimbulkan beragam polemik. Meskipun acara ini telah usai, ia tetap menyimpan banyak misteri yang belum sepenuhnya tersingkap, termasuk masalah kepastian apakah tahun depan akan diadakan acara serupa lagi serta bagaimana nasib para PKL ini jika kelak acara Aceh Fair selanjutnya diselenggarakan?

“Ini hari terakhir, selesai acara ini, mereka (PKL –red), mau jualan lagi, terserah lah. Konsepnya UKM,” tutup Poppy. [Sammy K]

VN:F [1.9.4_1102]
Rating: 0.0/10 (0 votes cast)
VN:F [1.9.4_1102]
Rating: 0 (from 0 votes)

Short URL: https://detak-unsyiah.com/?p=2853

Posted by redaksi on Sep 30 2011. Filed under FEATURED, UTAMA. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

Recently Commented

  • jhonny: pedulilah pada lingkungan hidup… Krn itulalah warisan yang abadi utnuk masa depan anak cucu
  • jhonny: OK kali MApala Leuser nich 4 jempol untuk anda
  • lembu: Keadaan mahasiswa sekarang sangat memprihatinkan… kurangnya pengetahuan agama dan kepedulian orang...
  • Agam: Salam Teknik!!
  • Arif: udah bisa dijadiin TGA tuh buat, informatika MIPA, matematika MIPA dan Teknik elektro judulnya “Optimasi...