Beranda Feature Lika-Liku Hidup Sang Penjual Garam

Lika-Liku Hidup Sang Penjual Garam

Saat Pak Sutrisno sedang berjualan. (Uswah Zilhaya [AM]/DETaK)

Uswah Zihaya [AM] | DETaK

Bapak Sutrisno, laki-laki berusia 53 tahun yang tampak lebih muda dari umurnya. Seorang penjual garam keliling yang berasal dari tanah Jawa. Sambil mengangkat kantong bening berisi garam kasar, ia terus menawarkan garam hampir ke setiap orang yang ia temui.

“Garamnya mbak,” tawar Pak Sutrisno ketika kami berpapasan. Logat kejawaannya cukup kental.

IKLAN
loading...


Matahari cukup terik di hari Sabtu itu. Riuh sana-sini, jalanan macet. Pedagang semakin enggan berbagi lahan dengan jalanan, membuat suasana Pasar Bawah Bukittingi semakin ramai. Lapak-lapak dagangan dibentangkan mengikuti arah jalanan. Bermodalkan payung warna-warni, ciri khas para pedagang. Tak sedikit yang menggunakan tangan atau buku-buku untuk mengipas wajah, sekadar menghilangkan hawa panas akibat panas dan suasana pasar. Kuda bendi yang diparkir searah bangunan tua yang mulai hilang, tertutup oleh spanduk dagangan.

“Ya, saya asal Jawa, mbak. Tapi, ndah cukup lamo di Sumbar,” jawabnya ketika saya tanyai. “Mbak nyo pengen bali garam, mbak?” Dia menawarkan.

Cukup panjang percakapan antara saya dan Pak Sutrisno. Dahulu, beliau seorang buruh pabrik plastik, karena suatu hal pabrik tempatnya bekerja harus ditutup. Pak Sutrisno tidak menyebutkan alasan pabrik itu ditutup. Saya pikir mungkin ada alasan sendiri sehingga beliau tidak mau menyebutkannya.

“Dulu ne, mbak, saya ini buruh pabrik. Pabrik plastik, mbak. Yo, kiro sampe belasan tahun, mbak. Sayange, pabrik ditutup. Yo, Aku udol uyah je, mbak,” ujarnya.

Pak Sutrisno memiliki empat orang anak. Yang paling sulung sudah masuk kelas 3 SMA, tiga lainnya di SMP. Kenakalan remaja membuat anak kedua beberapa kali masuk dalam masalah dan tinggal kelas. Istrinya sudah lama meninggal karena diabetes.

Bocah saiki angel menehi saran, mbak,” katanya.

Sembari beristirahat, Pak Sutrisno menceritakan berbagai kisah dan pengalamnnya. Sebelum dia menjadi buruh pabrik, dulunya ia sempat kerja di perkebunan sawit. Namun, ia tidak bisa meninggalkan istrinya yang sakit dalam waktu yang lama. Perkebunan sawit yang cukup jauh dari rumahnya membuat harus tidur di kebun beserta beberapa pekerja lainnya. Sehingga ia memutuskan berhenti dan mencari pekerjaan lainnya.

Beberapa bulan bekerja serabutan, sampai akhirnya datang tawaran untuk menjadi buruh pabrik dari seorang kenalannya. Pak Sutrisno menerima tawaran itu meskipun di bagian pengadukan dan pelelehan material. Pabrik tempatnya bekerja masih menggunakan alat tradisional, tak jarang Pak Sutrisno terkena percikan plastik panas. Belasan tahun dilalui, hingga istrinya meninggal dunia, Pak Sutrisno berhenti dan pindah ke Sumatera Barat.

“Kerja ora jelas, ya kita pilih kerja yang jelas ya, mbak”, tambahnya.

Awalnya beliau mendapat tawaran bekerja dari teman semasa bekerja di perkebunan sawit. Posisi yang ditawarkan sebagai mandor, bukan lagi buruh kasar yang mengangkat dan menuruni sawit ke truk. Dia dipandang cakap oleh kawannya yang lebih dulu bekerja di sana. Pak Sutrisno dimeminta untuk memberikan uang sebesar 12 juta dengan alasan sebagai alat pengurusan kepindahan, surat menyurat, dan keberangkatan ke Sumatra Barat. Dengan susah payah Pak Sutrisno mengumpulkan uang, menjual barang-barang berharga miliknya dan meminjam uang. Akhirnya Uang itu pun terkumpul. Pak Sutrisno beserta anak-anaknya berangkat ke Sumatera Barat di tahun 2010.

Setelah tiba di Sumatera Barat, Pak Sutrisno tidak bisa menghubungi kawannya. Seminggu dua minggu, ia tak kunjung menerima telpon dari kawannya. Bermodalkan uang seadanya, ia memutuskan pergi ke daerah kebun sawit yang sempat dikatakan kawannya. Bagaikan petir di siang bolong, Pak Sutrisno ditipu oleh kawannya. Bahkan kawannya tidak pernah bekerja di sana.

Kini Pak Sutrisno sadar dan ia tidak punya pilihan lain. Kehidupannya yang tidak menyentuh pendidikan tingkat apa pun membuat dirinya harus menerima takdir. Baginya, pekerjaan apa saja, buruh atau pedagang kecil asalkan ia sekeluarga bisa makan dan membiayai sekolah anaknya sudah cukup. Selain itu, Pak Sutrisno juga sudah membuka pandangannya tentang betapa pentingnya pendidikan. Dia berharap anaknya kelak tidak memiliki nasib sepertinya.[]

Editor: Teuku Muhammad Ridha