Beranda Feature Melepas Status Mahasiswa untuk Mondok di Dayah Salafi

Melepas Status Mahasiswa untuk Mondok di Dayah Salafi

(Sumber: Ist)

Nurul Hasanah | DETaK

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya”

Seperti itulah terjemahan QS. Ali Imran ayat 185 yang telah memantapkan keputusan mantan mahasiswi yang memiliki nama lengkap Nur Fitrah untuk bertahan di kampus kenamaan Aceh selama empat semester. Gadis kelahiran tahun 1997 itu, memilih meninggalkan kampus untuk memantapkan hati menuntut ilmu agama di Dayah Al-Ikhlas Abu Ishaq Al-Amiry yang terletak di Lamsayun, Aceh Besar.

IKLAN
loading...


Nur Fitrah yang akrab dipanggil Fitrah pernah bersekolah di MIN Pagar Air, MAS Oemar Diyan, dan MAN Model Banda Aceh. Setelah lulus dari MAN, pada tahun 2015, ia diterima sebagai mahasiswa di UIN Ar-Raniry Fakultas Sains dan Teknologi Jurusan Biologi. Sebenarnya, ia memiliki cita-cita sebagai seorang dokter. Tetapi, belum diperkenakan yang mahakuasa untuk menimba ilmu kedokteran. Fitra tidak menyerah, ia juga suka pelajaran biologi. Selain menjadi dokter, ia juga memiliki cita-cita menjadi seorang guru.

“Pertama ingin menjadi dokter, tapi udah tes SBMPTN nggak lulus di Unsyiah, terus kalau selain dokter ingin jadi guru aja. Cuma itu sih yang diizinin orang tua, selain itu nggak boleh,” jawab Fitra saat kutanyai tentang cita-citanya.

Alasan Memilih Mondok Dayah Salafi

Pagi itu, matahari memancarkan sinarnya kuningnya, tapi belum mencapai tahap sampai kulitku terbakar. Walau begitu, tetap saja aku masih dapat merasakan sinar panasnya. Aku duduk di tempat naungan yang berada di dekat gerbang masuk untuk meneduhkan diri. Naungan itu, terbuat dari kayu yang memiliki empat kaki. Ukurannya cukup luas, bisa menampung kira-kira sekitar tiga puluh orang. Saat itu, suasana dayah sedang sepi. Bukan karena tidak banyak orang, tetapi karena memang jadwal istirahat usai mengaji dari Subuh tadi. Beberapa diantara mereka yang sedang berada di luar, kulihat sedang duduk-duduk ataupun mengambil pakaian dari jemuran yang sudah kering.

Aku sedang menunggu adikku memanggil kenalannya yang hendak aku temui untuk mendengarkan kisah hidupnya. Dari kejauhan, ia memanggilku untuk menuju sebuah bangunan yang berbentuk seperti rumah yang berada di sentral kawasan Dayah tersebut. Aku berjalan dengan langkah ringan tidak sabar menemui sosok tersebut.

Setibanya di dalam, aku menunggunya sedang bersiap-siap untuk menemuiku. Tak perlu waktu lama, ia segera keluar dari kamarnya. Saat mata kami bertemu, ku tebak ia cemas takut ku ajukan banyak pertanyaan. Agar ia merasa lebih santai, aku langsung menjulurkan tangan kananku untuk mengajaknya berkenalan. Aku lebih dulu menyebutkan nama, lalu namanya menyusul. Setelah selesai berkenalan, Fitrah mengajakku untuk duduk di sudut rumah dengan alasan malu jika pembicaraan ini didengar oleh teman-temanya. Aku menyanggupi keinginannya dengan senang hati.

Sudah lebih dari lima menit kami berbincang-bincang, kini sudah waktunya aku mulai menanyakan alasannya melepas status menjadi mahasiswa setelah dua tahun. Ia pun mengungkapkan bahwa hidupnya di perkuliahan terlalu mengejar hal-hal yang sifatnya duniawi. Hal itu, tidak selaras lagi dengan tujuan diciptakan manusia, yaitu untuk beribadah dan mengabdi kepada sang Khalik. Padahal, telah banyak ditemukan ayat-ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan bahwa dunia fana. Bahwa akhirat yang kekal. Oleh karenaya, Fitra ingin meluruskan kembali tujuan hidupnya, ia memilih menjadi santri dayah salafi.

“Lebih kayak duniawi kali hidupnya, jadinya yaudah ngaji aja,” ungkap Fitra kepadaku.

Dayah Salafi sendiri merupakan sebuah dayah tradisional, di dayah tersebut hanya mempelajari tentang ilmu agama saja. Selain itu, dayah salafi juga tidak mempunyai sistem kelulusan. Hal ini dikarenakan, dalam hal mempelajari ilmu agama, tidak ada batas akhirnya.

Fitra tersenyum saat dipaksa mengingat kembali masa lalunya itu. Kepadaku dia menambahkan bahwa sebelumnya, ia pernah berniat untuk mondok saat sedang menimba ilmu di MAN. Namun, ibundanya tidak setuju. Karena, segala keperluan sekolahnya seperti pembayaran SPP dan sebagainya telah dilunasi. Ibundanya menyarankan agar Fitra menunggu setelah lulus.

“Pertama dulu, masa SMA juga sempat punya pikiran untuk keluar dari sekolah, untuk masuk dayah, tapi nggak dikasih, karena udah banyak pengeluaran,” jelasnya.

Saat sudah lulus dari MAN, kedua orangtuanya menanyakan lagi keinginan Fitrah yang dulu apakah masih ada. Ternyata, keinginan itu kandas, ia ingin lanjut kuliah saja. Namun, saat di perjalanan masa kuliah. Hatinya ragu-ragu, berbagai pelik muncul, merasa ada yang tidak beres dengan hidupnya itu. Hatinya selalu saja gelisah. Niat masuk ke dayah timbul kembali. Tidak ingin hatinya terbolak-balik lagi, Fitrah membulatkan tekad untuk mewujudkan keinginanannya itu. Ia kembali memohon izin kepada ayahnya.

“Itu, langsung dikasih, daripada bolak-balik lagi, jadi dikasih aja terus,” Tutur Fitrah.

Aktivitas perkuliahan merupakan saat-saat yang menyenangkan bagi Fitrah. Apalagi, Biologi memang mata pelajaran kesukaannya. Ingatan yang masih membekas indah dalam memorinya adalah saat ia mewawancari warga tentang hutan bakau. Walaupun begitu, ada sesuatu yang membuat Fitra berpikir untuk melepas statusnya sebagai mahasiswa.

Kekhawatiran itu muncul karena selama masa perkuliahan, kewajibannya sebagai seorang hamba tidak bisa ia jalankan dengan sempurna. Ia merasa bahwa ibadah yang ia lakukan tidak dilakukan secara khusyu, karena harus mengejar waktu dan memikirkan beban perkuliahan. Jadwal mengaji malamnya juga terpaksa banyak absen karena harus menyelesaikan tugas perkuliahan.

“Karena kuliah kan banyak kali tugas, masuk lab, terus pulang magrib sampai di rumah, jadinya malam udah nggak ngaji lagi. Orang tua juga larang nggak boleh nggak pergi ngaji,” Akui Fitrah.

Ia juga menambahkan bahwa keputusan yang ia ambil itu, membutuhkan proses yang berlika-liku. Orang-orang yang berada di kampus menentang keputusan Fitra, sebaliknya teman-teman dari dayah mendukung keputusannya. Fitra melanjutkan, dosen walinya memberikan saran agar ia tidak keluar dari kampus, karena ia termasuk mahasiswa yang memiliki potensi. Tetap saja, Fitra enggan, keputusannya sudah bulat.

“Pertama orang tu kayak nggak usah, biasakan teman, kalau yang di kuliah ajak kuliah aja, kawan yang disini ajak untuk mondok saja nggak usah kuliah lagi, kan biasa orang carinya ke zona mereka,” Ungkapnya.

Disaat hatinya bergejolak dan gelisah, Ia berdoa dan salat istikharah untuk memohon petunjuk dari Allah. Agar diberi petunjuk bahwa keputusan yang akan ia ambil itu lebih baik. Petunjuk tersebut akhirnya datang dari Allah saat Fitrah sedang membaca ayat-ayat Allah. Ia menemukan dua surat yaitu surat Ali Imran ayat 185 dan surat An-Nisa ayat 77 yang menjawab doa-doanya selama ini. Kedua surat tersebut membahas tentang kehidupan di dunia dan akhirat. Dari kedua surat tersebut dapat dikutip intisari sebagai berikut:

Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya, Kesenangan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang- orang yang bertakwa

Dari kedua ayat tersebut, ia semakin yakin bahwa keputusannya itu sudah tepat. Menurutnya, Allah seolah mengatakan bahwa keputusannya itu tidak perlu ditunda lagi. Rencana Allah pasti lebih indah.

“Kita memang punya rencana, tapi Allah is the best planner,” Kata Fitrah dengan senyum sumringah.

Semenjak masuk ke dayah, ia mengungkapkan bahwa ibadahnya bisa dilaksanakan lebih khusyu. Hatinya tidak sering lagi gelisah. Rutininitas kehidupan dayah yang disiplin dan beraturan juga membuat hidupnya terasa jauh berbeda ketimbang sebelumnya di kampus yang cenderung bebas. Ia tidak harus lagi terburu-buru mengejar waktu untuk menunaikan salat lima waktu. Akhirnya, Fitra menemukan kedamaian hati di Dayah Salafi.[]