Beranda Opini MK Jangan Jadikan Indonesia Menjadi Negara Atheis

MK Jangan Jadikan Indonesia Menjadi Negara Atheis

BERBAGI
Sumber: Google Gambar

Oleh Zulfikar

Sumber: Google Gambar
Sumber: Google Gambar

Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang telah sepakat untuk mengikatkan diri membentuk keluarga yang bahagia sebagaimana yang diinginkan oleh kedua pasangan suami dan istri. Semua agama yang ada di Indonesia  memiliki tradisi dan budaya luhur tersendiri dalam melangsungkan akad perkawinan. Suku, budaya dan agama yang begitu beragam di Indonesia membuat bangsa ini menjadi sutu negara yang kaya akan nilai-nilai perbedaan dan pluralisme yang semuanya itu terbingkai indah dalam Bhineka Tunggal Ika. Sebagai negara besar yang mayoritas berpenduduk beraneka ragam atau pluralisme, the founding of father negara ini menginkan agar Indonesia dapat hidup rukun dan selalu berdampingan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal inilah yang sudah terjaga selama 69 tahun silam sejak kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Perbedaan suku, budaya dan agama yang begitu beraneka ragam tidak membuat Indonesia menjadi negara yang sekuler dalam artian memisahkan antara negara dan agama didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini termaktuf sangat jelas dalam falsafah negara kita yaitu Pancasila, sila pertama pancasila menegaskan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhaan Yang Maha Esa.

Iklan Souvenir DETaK

Para pendiri bangsa ini menginginkan agar bangsa Indonesia menjalankan prinsip-prinsip ketuhanan Yang Maha Esa didalam kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk didalam hal perkawinan. Perkawinan merupakan perbuatan yang dipandang sebagai suatu peristiwa penting yang harus dicatat oleh negara. Hal ini dikarenakan dalam peristiwa perkawinan telah menyangkut hak dan kewajiban antara dua orang subjek hukum yaitu suami dan istri.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara pihak laki-laki sebagai suami dengan pihak perempuan sebagai istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Definisi inilah yang membedakan makna perkawinan menurut  hukum BW (Burgelijke Wetboek) dengan hukum nasional Indonesia. Perkawinan menurut hukum Burgelijke Wetboek hanya merupakan hubungan keperdataan belaka dan hanya bersifat lahir semata, tentu hal ini tidak sesuai dengan ideologi bangsa kita yaitu pancasila.

Masih segar diingatan kita upaya menggugat Mahkamah Konstitusi (MK), untuk melakukan Pengujian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [Pasal 2 ayat(1) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertanggal 4 September 2014 oleh mahasiswa dan para alumnus fakultas hukum Universitas Indonesia (UI).

Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Hal inilah yang menurut pemohon bahwasannya undang-undang perkawinan tersebut bertentangan dan cendrung melakukan pelanggaran atas hak asasi manusia didalam kebebasan beragama sebagaimana yang diatur dalam pasal 28 E ayat (1), 28 E ayat (2), 28 I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Secara makna dapat kita pahami bahwasannya perkawinan hanya dapat berlangsung jika dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama, tentunya menjadi pertanyaan buat kita mengapa persyaratan sah suatu perkawinan tersebut harus dilandaskan berdasarkan agama?

Ada empat hal yang berkaitan dengan hal tersebut, pertama suatu perkawinan berhubungan erat dengan keluarga para pihak dan individu yang melangsungkan perkawinan itu sendiri, kedua suatu perkawinan memiliki pengaruh pskilogis, yang mana suatu perkawinan tersebut bukan hanya merupakan kehendak pribadi para pihak saja, namun juga berkaitan erat dengan keluarga dan masyarakat disekitar kita, ketiga perkawinan merupakan persoalan yang menyangkut tentang keyakinan suatu agama yang ke regiuslitasnya itu sangat penting didalam kehidupan bermasyarakat. Keempat, persoalan perkawinan adalah urusan negara, sebagai mana yang di amanatkan di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Keempat hal inilah yang menjadi landasan mengapa perkawinan itu harus dilangsungkan berdasarkan agama masing-masing.

Konsep HAM dalam Kebebasan Beragama

Konstitusi kita UUD 1945 telah mengatur dengan jelas dan konfrehensif tentang konsep hak asasi manusia, berbicara tentang hak asasi manusia tentu tidak terlepas dari hak untuk hidup dan melangsungkan kehidupan (pasal 28A UUD 1945),  hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B UUD 1945), serta hak untuk kebebasan didalam beragama seperti yang diatur dalam pasal 28E ayat (1), 28 E ayat (2), 28 I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Namun yang perlu diperhatikan adalah kebebasan hak asasi manusia tersebut tidak serta merta dapat dilaksankan sebebas-bebasnya begitu saja, karena pada dasarnya kebebasan yang bersifat absolutly maka akan cendrung mengesangpingkan hak-hak asasi yang dimiliki orang lain, seperti yang tertuang didalam pasal 28 J ayat (1) dan pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, artinya kebebasan hak tersebut juga diatur oleh negara berdasarkan undang-undang. Ini yang selalu dipelajari oleh para mahasiswa fakultas hukum didalam mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia, dimana negara memiliki peranan penting didalam mengatur hak asasi manusia tersebut, artinya negara dapat mencabut hak seseorang jika pengadilan telah memutuskan untuk mencabut hak tersebut termasuk hak yang dianggap paling krusial sekalipun yaitu hak untuk hidup.

Menteri Agama Republik indonesia, Lukman Hakim Saifuddin dengan jelas telah mengatakan bahwasannya, “Agama menduduki posisi vital dan strategis dalam menata kehidupan bersama termasuk kehidupan pernikahan. Itulah bedanya Indonesia dengan negara lain, kita memang bukan negara Islam tetapi juga bukan negara sekuler yang harus memisahkan relasi negara dengan nilai-nilai agama”.

Kewenangan negara didalam mengatur hak asasi manusia sebagaimana tercantung dalam pasal 28J ayat (1) dan pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut sejalan dengan apa yang diatur didalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, bukanlah merupakan suatu pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan perkawinan sesuai dengan agama tertentu, melainkan memfasilitasi dan memberikan status hukum yang jelas bagi sesorang didalam pemenuhan hak-haknya sebagaimana yang diberikan dan diatur dalam UUD 1945 terkait untuk melangsungkan perkawinan dan beragama.

Inilah sebenarnya yang diinginkan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga penting suatu perkawinan dilandaskan akan hukum agama masing-masing mengingat tujuan dari perkawinan tersebut untuk membentuk keluarga yg bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, tentunya menurut pasal 1 UU Perkawinan tersebut, hakikat dari perkawinan tidak akan pernah tercapai jika suatu perkawinan berlangsung antara agama yang saling berbeda. Konsekuensi seseorang ketika ingin memilih agama tertentu tentu orang tersebut harus mematuhi secara keseluruhan tentang apa yang diatur oleh agamanya, agama-agama pun kian melarang umatnya untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama.

Dalam islam sendiri misalnya, Allah SWT berfirman “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita- wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221). Jika kita taat dengan agama dan memegang teguh nilai-nilai agama tersebut maka kita akan memilih untuk menjalankan sebagaimana yang diperintahkan di dalam agama itu, apalagi Indonesia merupakan negara yang mengakui akan keberadaan agama.

Mahkamah Konstitusi Harus Bijak

Masyarakat Indonesia yang cendrung masih menganut nilai-nilai religiusitas tentunya berharap agar negara ini tidak berdasarkan pemahaman-pemahan yang bersifat sekuler, liberal atau bahkan hingga menjerumus ke faham atheis yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Mahkamah Konstitusi selaku lembaga yang berwenang untuk menguji dan memutuskan perkara ini hendaknya dapat mempertimbangkan nilai-nilai norma yang hidup didalam masyarakat demi tercapainya kerukunan antar umat beragama sebagaimana yang diinginkan rakyat banyak. Seorang ilmuan yang bernama Satjipto Rahardjo yang mengatakan “hukum yang sesungguhnya ialah apa yang tumbuh dan berkembang didalam masyarakat sesuai dengan apa yg diinginkan masyarakat bukan apa yang ditulis dalam undang-undang”. Mahkamah dengan sembilan hakim konstitusinya hendaknya dapat mempertimbangkan teori tersebut dan dengan lebih lagi melihat ideologi bangsa ini yang merupakan negara yang beradab dan beragama. Sehingga Mahkamah Konstitusi hendaknya harus dengan seksama memutuskan perkara ini mengingat jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan perkawinan antar agama yang berbeda bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia akan menjadi suatu negara yang bepaham atheis atau tidak percaya akan Tuhan, tentunya ini tidak kita harapkan dan sangat bertentangan dengan falsafah dan ideologi bangsa kita.[]

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah, Program Kelas Internasional, Angkatan 2012. (email: [email protected])

Editor : Murti Ali Lingga