Beranda Opini SKPI : Peningkatan Prestasi atau Pembodohan?

SKPI : Peningkatan Prestasi atau Pembodohan?

BERBAGI
Karikatur SKPI. (Muhammad Chalid Isra/DETaK).

Opini | DETaK

Sejak mulai diterapkannya Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) sebagai syarat untuk wisuda bagi mahasiswa di Universitas Syiah Kuala pada tanggal 16 Maret 2017 lalu telah memunculkan berbagai polemik yang sangat menarik untuk dibahas. Pasalnya berlakunya SKPI ini tidak hanya menimbulkan efek positif bagi mahasiswa untuk lebih aktif baik di kegiatan akademik maupun non-akademik, tetapi pemberlakuan SKPI menimbulkan banyak dampak negatif.

Tujuan awal pemberlakuan SKPI adalah supaya mahasiswa Unsyiah tidak menjadi mahasiswa “kupu-kupu” yang hanya kuliah pulang – kuliah pulang, seperti yang telah disampaikan oleh Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Unsyiah pada rapat di Kantor Pusat Administrasi (KPA) Unsyiah, Rabu, 15 Maret 2017 lalu.

Iklan Souvenir DETaK

Begitu juga disusul dengan tujuan untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, meningkatkan kemampuan soft skill mahasiswa, memberikan pengakuan dan atau penghargaan terhadap aktivitas pembelajaran dan prestasi mahasiswa di luar kegiatan kurikuler dan juga lain sebagainya yang dapat mempermudah mahasiswa ketika melamar pekerjaan ketika sudah lulus nantinya.

Seiring dengan berjalannya waktu, terlihat bahwa pihak Unsyiah tidak serius akan substansi dari penerapan SKPI ini. Pasalnya, tidak tampak adanya tindakan yang diambil oleh pihak kampus untuk memberikan waktu yang cukup bagi mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan non-akademik, seperti kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK), keorganisasian baik di intra maupun ekstra kampus dan juga kegiatan-kegiatan mahasiswa lainnya dalam bidang non-akademik.

Permasalahan ini semakin kompleks dengan masih diberlakukannya masa aktif kuliah mulai dari hari senin hingga sabtu, dan juga kebijakan kurikulum baru dengan penambahan Satuan Kredit Semester (SKS) bagi mahasiswa untuk syarat persidangan. Sehingga hal ini dapat mempersempit ruang gerak mahasiswa dengan tuntutan perkuliahan yang begitu padat dan mengakibatkan mahasiswa tidak sempat untuk bisa memikirkan dan aktif  baik di keorganisasian, kepemimpinan, kegiatan sosial dan kegiatan non-akademik lainnya.

Pihak Unsyiah sendiri perlu melakukan pengkajian ulang atas pemeberlakuan SKPI karena setelah sekian lama kebijakan ini mulai diberlakukan hingga sekarang, terlihat bahwa tujuan awal penerapannya cenderung sudah melenceng dengan orientasi awal. Pasalnya tidak sedikit mahasiswa yang melakukan kejahatan dan kecurangan akibat penerapan SKPI ini.

Di lapangan banyak ditemui adanya pemalsuan sertifikat baik di kepanitiaan maupun antar peserta di suatu kegiatan. Hal ini dapat dijadikannya suatu ladang bisnis yang illegal yang mana menyediakan barang dengan bentuk penjualan sertifikat hasil scan atau dalam bentuk lainnya.

Dapat kita lihat bahwa penerapan SKPI ini membawa efek yang kuran baik bagi mahasiswa. Pasalnya banyak diantara mereka yang mengikuti kegiatan maupun organisasi hanya sekedar  mencari selembar kertas SKPI dan bukan untuk berorganisasi ataupun mencari ilmu.

Hal ini sangat kita sesalkan bersama, karena kebijakan SKPI tersebut telah mempengaruhi keikhlasan seseorang dalam aktif dan berbuat di suatu organisasi atau kegiatan. Kita tidak berharap mahasiswa Unsyiah menjadi mahasiswa generasi SKPI yang perlu di-“pancing” poin SKPI untuk datang berorganisasi. Apakah pembelajaran dan ilmu pengetahuan hanya akan berharga jika ada nilai SKPI?

Tidak sampai disitu, jika memang pihak kampus serius akan hal ini maka perlu peninjauan ulang penerapan SKPI di Unsyiah. Lantaran pemberlakuan SKPI ini dalam penilaiannya juga terkesan menzalimi mahasiswa. Pertimbangannya kita lihat ada beberapa kategori penilaian yang tidak sesuai dengan usaha yang telah mahasiswa lewati. Contohnya, dari segi nilai, menjadi anggota baik di suatu kepanitiaan maupun di struktur organisai memiliki nilai yang rendah dan tidak selaras dengan kontribusi yang telah diberikan, berbeda dengan peserta kegiatan yang mendapatkan nila SKPI lebih tinggi dari panitia.

Selanjutnya, mahasiswa yang aktif di organisasi ekstra kampus sewajarnya mendapat penilaian yang sama dengan mahasiswa aktif di organisasi intra kampus, karena sebetulnya tidak ada batasan dan tidak menutup kemungkinan mahasiswa lebih banyak belajar dari kegiatan ekstra kampus dalam peningkatan skill dan keterampilannya. Begitu juga dengan mahasiswa yang aktif dalam kegiatan pertukaran mahasiswa baik short course maupun long course, juga mahasiswa yang mengikuti kegiatan baik di luar Unsyiah maupun di luar Indonesia yang perlu kembali dipertimbangankan oleh pembuat kebijakan dalam pemberian nilai.

Kita semua berharap agar cita-cita mulia untuk mengembangkan potensi mahasiswa dengan penerapan SKPI ini dapat berjalan dengan semestinya tanpa ada unsur-unsur kepentingan sepihak dan tanpa ada yang merasa diuntungkan dan dirugikan. Kita juga tidak berharap dengan berlakunya SKPI dapat menjadi sarana pembodohan untuk mahasiswa.[]

Penulis merupakan Ketua Umum English Student Association (ESA) FKIP Unsyiah dan juga merupakan Kader Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah dan juga alumni Aceh Youth Leaders School  (SPMA).

Editor: Dhenok Megawulandari