Beranda Cerbung Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 2: Golongan Pengabdi Bangsawan

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan-Episode 2: Golongan Pengabdi Bangsawan

Heaven Kingdom dan Realita Kehidupan (Wendi Amiria/DETaK)
loading...

Cerbung | DETaK

-Kisah seorang gadis yang berusaha meraih impiannya di tengah carut marut dunia

Gazastan adalah sebuah kota besar yang terletak di sebelah utara kerajaan Heaven Kingdom. Kota ini ditutupi oleh Gunung Eiko di arah utara, lalu dikelilingi Hutan Okigahara yang dipenuhi pepohonan kuno lebat dan besar di sebelah timur dan selatan kota. Legenda orang-orang utara menyebutkan bahwa di Hutan Okigahara itu hidup makhluk kanibal berbulu yang menyerupai manusia bernama Wendigo. Hutan yang dari luarnya saja sudah membuat orang menjauh, menjadi semakin menakutkan karena legenda itu.

IKLAN
loading...


Satu-satunya pintu gerbang untuk keluar terletak di bagian barat, tepatnya di belakang Kastil Putih. Disana dibangun dinding besar bewarna abu-abu kelam setinggi 10 meter. Hanya terdapat satu gerbang di tengah-tengah dinding itu, digunakan oleh keluarga Alaska dan pasukannya untuk keluar masuk kota.

“Dasar wanita gila, mengucapkan yang bukan-bukan, bukannya berdoa untuk tobat,” gerutu Adipati Sedler ketika berdiri di depan sebuah tangga batu. Pada hari buruk seperti ini pun, sang adipati tetap akan melakukan kegemarannya di atas benteng.

“Leanar!” teriaknya pada sang adik yang menjadi komandan pasukan kota Gazastan. “Perketat pengawasan di dinding kota, jangan biarkan seorang Lafitters pun mendekatinya!”

Sir Leanar Alaska dengan pakaian zirah besi bersimbol Kristal Salju di dada, segera bergerak meninggalkan kelompok kecil itu.

“Tuan Adipati, hasil tambang emas sudah disiapkan. Namun persediaan cokelat baru sempurna dalam waktu 2 minggu lagi,” lapor sang penasehat sambil mengikuti adipati menaiki anak tangga.

Tangan kanan adipati memukul dinding kelabu di sampingnya. “Sialan! sudah bikin keluargaku dalam bahaya, sekarang mereka akan membuatku terlambat memenuhi permintaan raja.”

Kelompok kecil ini sampai di atas benteng, seharusnya itu menjadi alasan bagi si penasehat bisa bernafas lega. Namun pesan yang akan disampaikan tak membiarkannya.

“Tuan, para burung kecilku mendengar desas-desus kaum Lafitters keberatan dengan kebijakan barumu mengenai cokelat gazastan.”

“Terkutuklah Laffiters! Aku telah mengurus mereka, menyediakan tempat tinggal dan memberikan makan. Sekarang mereka malah mendekteku?! Dipikir aku ini budak mereka!”

“Tenanglah, Adipati,” ucap rahib kota dengan nada lembut, dia juga berdiri di samping sang adipati. “Dewa Hades akan memberimu balasan yang berlimpah atas baktimu padanya.”

Adipati Sedler mendekati merlon (tonjolan batu kotak-kotak di atas benteng kastil), kemudian memandang ke bawah, ke arah para Lafitters murung yang sedang menyebar keluar dari gerbang kastil. “Dia harus,” tanggapnya.

Kemudian Adipati Sedler berbalik ke belakang, akhirnya dia bisa melakukan kegemarannya di atas sini; menikmati pemandangan Kastil Putih berlantai empat miliknya yang megah dan besar. Bagian atas kastil itu berbentuk segitiga sempurna, dihiasi atap pelana dari sirap kayu bewarna hitam. Kastil itu terlihat seperti sumber pancaran cahaya terang di tengah pepohonan dan benteng-benteng biru kelam yang melindunginya. Ini adalah kebanggaan para Alaska, keluarga bangsawan pemilik simbol Kristal Salju.

Sambil menyeringai, adipati berkata cukup keras dan sangat percaya diri, “Jika dewa ingin membalas kebaikanku, maka dia harus membuat keturunanku menjadi penguasa Heaven Kingdom.”

OOO

“Aku tidak ingin melihat kamu meneliti tentang sejarah Kota Gazastan lagi, kau dengar!” bisik Bu Bethoven Gifford begitu kencang hingga tak terasa seperti bisikan lagi menurut suaminya saat mereka sedang berjalan pulang dari Kastil Putih.

Josep Gifford, laki-laki paruh baya bertubuh kurus jangkung yang berjalan di samping istrinya membalas, “Dari pada membahas itu, kenapa kamu membiarkan anak kita ikut menonton pengeksekusian. Apa kamu pikir tontonan tadi pantas bagi anak-anak?!”

“Dia harus melihat realita hidup lebih cepat sebelum ketularan penyakit obsesimu itu,” balas Bu Bethoven tanpa melihat kondisi tubuh lunglai terlihat tak bernyawa milik bocah laki-laki pucat yang sedang diseret-seret olehnya.

“Ayolah Oven, Aku, Josep Gifford! termasuk sebagian kecil dari Lafitters yang bisa membaca. Aku ingin memanfaatkan kemampuan ini untuk meneliti tentang kota kita. Lagi pula aku melakukannya secara diam-diam”

“Cukup!” bentak Bu Bethoven, lalu berhenti berjalan. “Apa kamu tidak lihat? Merry gila gara-gara terlalu banyak mempelajari sejarah. Cukup para bangsawan dan biarawan saja yang memikirkan hal-hal berat seperti itu. Kita tidak sanggup.” Wanita kurus ini kembali melangkah. “Lagi pula, Apa yang akan didapat dari meneliti itu, hah?! Apa itu bisa membuat kita
keluar dari kota?! Menolong kita dari cambukan?! Guillotine?! Tidak sama sekali!”

Dengan nada lirih, Bu Bethoven kembali memaparkan kegelisahannya, “Banyak anggota klan yang telah mati gara-gara tragedi Wendigo tiga bulan lalu. Tuan Ronald pasti kelelahan mengurusi klan dengan umurnya yang sudah setua itu. Hanya Nicolas satu-satunya yang tersisa dari keluarga utama. Dia belum siap memimpin klan di usia yang masih semuda sekarang.”

Mata sayu Bu Bethoven memandangi suami yang sangat dicintainya, sosok yang mampu memberikannya rasa aman di tengah kondisi kota yang menyedihkan. “Aku takut … kau akan ditunjuk menjadi menjadi pemimpin klan selanjutnya.”

“Ketika seluruh keluarga mempercayaiku, itu menjadi tugas terhormat yang akan kujalankan,” balas suaminya, melihat tanggung jawab itu dari sudut pandang yang berseberangan dari Bu Bethoven.

-Bersambung-

Cerita ini adalah bagian dari proyek novel yang sedang digarap oleh penulis. Bagi teman-teman yang tertarik ingin berdiskusi mengenai cerita lebih lanjut, bisa hubungi penulis lewat email: [email protected]