Beranda Cerbung Lima Detik-Chapter 1

Lima Detik-Chapter 1

Lima Detik (Neira Salsabila/DETaK)

Cerbung | DETaK

Aku tidak pernah butuh dites MRI, dan sekalinya pernah, aku dipaksa melakukannya dua kali dalam seminggu.

Aku tidak tahu apa itu suatu saat akan merusak jaringan otakku atau tidak, tapi aku tak punya alasan untuk menolak. Mereka menyuntikkan sesuatu ke pembuluh darahku, membaringkan tubuhku ke ranjang, dan khusus untukku, lengan dan kaki diban dengan empat sabuk sebelum ranjang itu masuk ke selongsong raksasa yang bersinar seperti lorong kematian. Untuk seorang yang sangat aneh sepertiku, aku akan berbaik hati menganggapnya wajar. Mereka bilang MRI pertamaku tidak berjalan mulus. Aku masuk dalam keadaan tak sadarkan diri. Begitu bangun, kulihat tiga orang perawat dan dua dokter sedang mengompres kepala mereka dengan es batu.

IKLAN
loading...


Terus terang saja, aku dipaksa jadi manusia objek penelitian, yang bahkan sudah tidak pernah lagi dilakukan semenjak … Perang Dunia II? Legalisasinya bahkan tidak dijelaskan secara rinci padaku, jadi aku tidak terlalu berharap bisa keluar dan hidup nyaman seperti dulu.

Ada sepuluh dokter yang menanganiku saat ini, enam diantaranya merupakan ahli saraf, ditambah beberapa ilmuwan fisika, biokimia, dan ahli metafisika. Semua berkumpul untuk membahasku sebagai sebuah fenomena. Sudah 3 minggu aku diperlakukan sebagai sebuah spesimen penelitian. Aku diperiksa, diawasi, dan diwawancarai secara berkala. Aku bahkan sudah menjalani satu operasi besar agar mereka bisa melihat struktur otakku secara langsung. Di penghujung tahun ini, aku tidak akan heran jika akhirnya akan terbit tiga lusin jurnal ilmiah mengenai diriku.

Harus kuakui, aku mungkin terlihat biasa dari luar. Laki-laki 18 tahun, jangkung, kurus, berambut hitam dan acak-acakan. Aku tampak seperti seseorang yang bakal kautemui di sekolahmu dan bukan merupakan orang yang bakal kauajak berkenalan di kali pertama bertemu. Tapi, seperti kata orang bijak, jangan menilai buku dari sampulnya. Saat umurku 17 tahun, aku mendapat kemampuan aneh ini setelah nyawaku nyaris terenggut. Aku tentu saja merahasiakannya. Melihat keadaanku sekarang, sepertinya usahaku belum maksimal. Aku memang buruk dalam hal menjaga rahasia.

Hari ini, setelah menjalankan tes MRI-ku yang kelima, tubuhku masih harus diawasi. Mereka menempelkan banyak detektor ke dadaku, juga di pelipis dan kepalaku. Kabel-kabelnya berujung ke alat yang terus menerus menampakkkan garis-garis tidak beraturan dan angka-angka yang tidak kupahami maksudnya.

Seorang perawat mengawasi tanda vitalku, mencatatnya di papan klip yang tidak pernah lepas dari tangannya, berlalu, dan kembali di sepuluh menit berikutnya.

Pemeriksaanku dilakukan dengan prosedur yang agak membingungkan. Mereka hanya menyuruhku berbaring tenang, bukannya berjalan di tempat. Mungkin agar datanya tidak terdistraksi dan perubahan sekecil apapun bisa teramati. Lalu, kenapa perawat itu hanya mencatatnya setiap 10 menit? Bagaimana kalau ada yang terlewat?

Aku berusaha tidak peduli dan fokus dengan sesi wawancaraku. Pertama giliran sang ahli metafisika, seorang wanita tua dengan riasan tebal datang dan duduk di kursi di sebelah ranjangku.

Wanita itu harusnya tampak ramah dan sepertinya orang yang enak diajak mengobrol, kalau saja dia bisa berhenti membicarakan hal-hal paranormalistik selama lima menit. Dia menganggapku bukan sekedar cenayang. Dia menganggap bakatku adalah berkah. Dia praktis menganggapku seorang shaman. Kalau saja aku menulis buku harian, aku bertaruh dia bakal mengambilnya untuk kitab sihir dan mencatat umpatan kasarku sebagai mantra penangkal kutukan. Mengikuti pengalaman, aku tidak akan menganggap serius omongannya. Ilmuwan kadang memang gila, tapi paranormal jauh lebih gila. Aku tidak tahu bahwa mereka memecayai seorang ahli metafisika saking buntunya.

“Apa saat kau melihatnya, ada bisikan di telingamu?” tanyanya antusias.

Aku menggeleng.

“Kau bisa melakukan proyeksi astral?”

Aku menggeleng.

“Apa kau meraskaan rohmu berkontak dengan semesta lain?”

Aku menggeleng.

“Apa kau ingat kehidupanmu yang sebelumnya? Atau mungkin jiwamu terhubung dengan masa depan?”

Aku menggeleng.

“Kau bisa melihat hantu?”

Aku menggeleng.

Selusin gelengan selanjutnya, wanita itu menyerah. Aku yakin dia sudah menyiapkan angket dengan opsi “ya” dan “tidak” mengingat pengalaman aku nyaris tidak menjawab satu pun pertayaan yang dia ajukan dengan kalimat lengkap. Praktisnya, aku tidak paham semua yang dia katakan.

Wanita itu undur diri. Kali ini dia memberiku sebuah batu berbentuk tetrahedral bewarna merah muda. Penampilannya mengingatkanku pada permen keras rasa stroberi yang pernah membuatku sakit gigi selama satu minggu.

“Agar auramu bersih,” katanya.

Aku hanya tersenyum kecil dan mengucapkan terima kasih singkat. Dia selalu memberiku satu setiap kali sesi kami selesai, selalu dengan bentuk dan warna yang berbeda. Segera setelah keluar, kuletakkan batu ini ke dalam vas di nakas di sebelah ranjangku. Untungnya, vas itu tidak transparan jadi dia tidak tahu, karena hari ini, lebih dari setenganya sudah penuh dengan batu magis. Aku tidak bisa memastikan efeknya pada tanaman berhubung yang rumah sakit ini pajang adalah mawar palsu berbau kapur barus.

Sesi berikutnya, wawancara dengan ahli biokimia. Mengapa aku butuh konsultasi dengan orang-orang seperti itu? Kurasa para ilmuwan menyimpulkan bahwa bakat ini muncul akibat ketidakseimbangan unsur-unsur kimia dalam otakku. Sejujurnya, rasanya lebih parah.

Profesor di bidang biokimia dari universitas ternama di kotaku itu duduk di kursi tempat sang paranormal tadinya duduk. Dia mencecarku dengan pertanyaan yang sama yang dia tanyakan kemarin, dua hari yang lalu, dan hari-hari sebelumnya.

Pria itu menatapku. Dahinya mengernyit sampai-sampai kerutannya bertambah dalam.

“Bisa kau jelaskan sekali lagi bagaimana persisnya kemampuanmu?”

Aku menarik napas dalam-dalam. Itu adalah pertanyaan pertama dari setiap ilmuwan dan dokter yang mencoba menelitiku, preparat mereka yang bisa bicara.

“Rasanya seperti ketika menonton film dan kau bisa melompat ke bagian akhirnya. Hanya saja kejadiannya tidak disengaja dan terjadi secara tiba-tiba. Apa yang kulihat hanya kilasan sepanjang 3 sampai 5 detik, kemudian akan kembali ke pandangan sesungguhnya,” jelasku untuk yang kedua belas kalinya dalam minggu ini. Kalau-kalau kau bertanya, ya, aku memang menghitungnya.

Profesor itu menyipit padaku, seolah aku benar-benar objek penelitian yang tidak bisa dia prediksi. Seakan aku menyalahi instrumen yang pernah dia pelajari sebelumnya. Seakan aku telah menghapus semua gelar yang dia dapatkan dan membuatnya seperti anak TK lagi.

Pria itu meraba janggut tipisnya yang sudah putih, menggaruk dagunya seolah ada ketombe. “Katamu 3 detik yang kaulihat tidak mempengaruhi waktu aktualmu, benar begitu?”

Aku mengangguk.

“Apa yang kaurasakan saat itu terjadi?”

Apa yang kurasakan? Mereka ingin aku menjawab apa untuk pertanyaan yang sama dengan kemarin dan dari awal mereka tanyakan? Apa aku harus megubahnya jadi “sakit kepala, menggigil, meriang, dan serangan jantung mendadak” agar mereka puas?

“Tidak ada,” jawabku. “Mungkin hanya sedikit sengatan di belakang mata. Rasanya seperti mataku disoroti senter atau semacamnya.”

Aku mengusap bagian belakang kepalaku. Rambutku sudah lama dicukur, dan kepalaku akan tetap dibiarkan botak sampai para dokter memutuskan sebaliknya. Mungkin suatu saat mereka bakal mengeluarkan otakku dan menyipannya dalam toples berisi formalin. Imajinasiku makin liar saja. Mungkin pembedahan itu berdampak buruk bagi pikiranku. Bekas jahitan dari operasi itu belum sepenuhnya mengering. Aku bahkan masih bisa merasakan simpul benang di ujung jahitannya. Perih dan ngilu. Sial, aku lupa minum pereda nyeri selepas sarapan tadi.

Ada lengang yang tidak wajar di antara kami. Professor itu seolah sedang mempersiapkan pertanyaan tak resmi yang bakal membuatku kena serangan katatonia. Apapun itu, firasatku bilang aku tidak akan menyukainya.

Dia mendekatkan wajahnya, kemudian merendahkan suaranya. “Apa kau bisa melihat sesuatu dariku?” tanyanya lagi.

Nah, apa kubilang? Aku memilih bungkam, bukan karena tidak tahu, melainkan tidak ingin tahu. Namun, seolah kehilangan kendali,  sengatan tajam di belakang bola mataku menyerang kesadaranku secara tiba-tiba.

Aku mengangkat wajahku. Alih-alih melihat wajah pria itu, aku malah mendapati diriku sendiri yang sedang saling beraadu pandang. Tidak kentara, namun diriku yang sedang kulihat pasti sedang menahan rasa sakit yang intens sampai-sampai kelopak mataku berkedut dan dahiku berkerut. Aku telah masuk ke sudut pandang sang profesor.

Seperti lompatan warp, mendadak aku sudah berada di rumahnya. Seorang wanita yang hampir sama tuanya dengan pria itu menjamuku dengan daging asap di meja makan. Lalu, lompatan warp berikutnya, aku berhadapan dengan banyak pemuda yang duduk leyeh-leyeh di tempat duduk berundak, menatap ke arahku dengan pandangan mengantuk. Ini saat dia mengajar dan mereka semua pasti mahasiswanya. Aku melakukannya beberapa kali sampai satu-satunya yang bisa kulihat adalah sebuah plafon. Sepertinya professor ini sedang berbaring, entah di mana, di satu waktu entah kapan.

Ada orang-orang yang tidak kukenal masuk ke pandanganku. Satu-satunya yang kukenali adalah istri sang profesor yang sedang sesenggukkan sambil menatap mataku—mata pria itu. lalu aku melihat dua orang wanita muda berusia dua puluhan, seorang pria lain berusia tiga puluhan, dan seorang bocah yang barangkali berusia enam tahun. mereka semua keluarganya. Semuanya menangis, tetapi tidak henti-hentinya memintaku bertahan dari sesuatu. Hanya beberapa detik berselang, lompatan warp-ku tidak lagi bekerja. Barulah kemudian aku sadar itu mungkin adalah pemandangan terakhir yang akan sang profesor saksikan.

Aku kembali ke diriku lagi, barangkali hanya satu atau 2 detik semenjak pertanyaan sang profesor meluncur keluar. Benar saja, waktu aktualku tidak berubah, padahal aku yakin raasanya baru saja menonton film pendek berdurasi 20 menit. Alat pendeteksi bahkan tidak menunujukkan perbahan berarati.

Pria itu belum memundurkan wajahnya, berharap aku bisa memberinya jawaban.

Aku menggeleng. “Tidak ada,” pungkasku.

Profesor itu tidak terlihat puas dengan jawabanku. Aku kembali mengingat raut wajahku yang jelas-jelas kesakitan menahan sengatan di belakang bola mata. Dia tidak akan sebodoh itu untuk ditipu, dan kami sama-sama mengetahuinya. Kami sama-sama tahu aku melihat sesuatu. Seolah mencoba maklum, dia—dengan setengah hati—mundur, bersandar lagi di kursinya untuk melanjutkan sisa pertanyaan resmi untuk jurnal ilmiahnya.

Beberapa pertanyaan selanjutnya, profesor itu berpamitan padaku. Jabatan tangannya keras seperti biasa. Tidak ada pertanyaan baru, tidak ada informasi baru. Dia berlalu dan menghilang ke balik pintu setelah undur diri pada perawat yang mengawasiku.

Dua ahli saraf yang berikutnya datang sama-sama tidak menarik minatku. Mereka membahas citra otakku dari tes MRI terakhir yang bagiku tidak jauh berbeda dengan potongan jamur truffle yang ketumpahan cat akrilik. Setelah mereka selesai, sesi untuk hari ini berakhir. Sang perawat kembali untuk ketujuh kalinya, mencatat tanda-tanda vitalku lalu mencabut semua detektor dari dada dan kepalaku. Dia tersenyum dan mengizinkanku meninggalkan bangsal pemeriksaan.

Aku bangun dan menapak dengan kaki yang goyah. Siapa sangka berbaring di ranjang seharian bisa semelelahkan ini? Barangkali itu karena para dokter dan ilmuwan gila ini tidak dapat memutuskan harus memperlakukanku sebagai apa: pasien penyakit kronis; kelinci percobaan; material radioaktif; alien?

Aku dibiarkan berjaan kembali ke kamarku—bangsal VIP di lantai teratas rumah sakit—dengan pengawasan ketat. Untungnya mereka menyediakan kamar—yang meskipun tidak luas—dilengkapi fasilitas terbaik dengan pendingin dan penyaring udara, tv layar datar dengan saluran kabel, video game berkonsol, serta kulkas mini berisi makanan organik. Mungkin mereka tidak ingin aku mati kebosanan yang malah jadi merepotkan.

Aku berjalan melewati pintu, kemudian duduk di ranjangku. Satu-satunya tempat yang tidak berbau antiseptik. Kamar ini dan beberapa bangsal VIP disterilisasi dengan sinar UV, jadi pengharum ruangannya bekerja dengan baik. Sejenak aku merasa seperti sedang di hotel bintang lima, kalau saja “layanan kamarnya” berhenti membawakaanku seragam pasien rumah sakit untuk baju ganti.

Aku menatap ke luar, ke balkon yang hanya dipisahkan selapis gorden dan pintu kaca raksasa. Pemandangannya lumayan indah. Gedung-gedung kaca raksasa berdiri dan memantulkan cahaya matahari sore. Taman kota yang ramai tampak seperti selembar karpet piknik dari atas sini.

Untuk sejenak, jadi bahan penelitian terasa tidak begitu buruk. Namun, aku tetap berandai, kapan aku bisa pulang, menjadi remaja normal seperti dulu lagi. Atau kapan rambutku boleh tumbuh karena sangat aneh melihat wajahku di cermin dan meraskan angin melewati kulit kepalaku begitu saja. Aku juga ingin kembali menemui teman-temanku terutama karena ini tahun terakhirku di SMU.

Dan, aku tetap berandai, kapan “bakat” ini akan dicabut dariku….

Tetap saja, kembali menjalani kehidupan normalku terasa sangat jauh, sama mustahilnya seperti kembali ke masa lalu, ke hari di mana aku menerima bakat ini. Mungkin agak sedikit terlambat. Jadi, kenalkan, aku Dai, remaja laki-laki biasa yang mungkin saja kautemui di jalan dan tidak akan membuatmu repot-repot untuk menengok dua kali ketika berpapasan. Malahan, kau tidak akan mau menghabiskan waktu untuk menyapaku meskipun kita satu sekolah dan satu kelas sekalipun. Tetapi, bukan itu yang membuatku berbeda. Aku, secara acak, mampu melihat kejadian 5 detik—dan lebih—di masa depan.

Bersambung ke chapter 2

Penulis bernama Teuku Muhammad Ridha. Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil USK angkatan 2019. Ia juga merupakan anggota aktif di UKM Pers DETaK Unsyiah.